Kisah Pernikahan Nabi Muhammad Dengan Siti Khadijah
Bermimpi Matahari Turun Ke Rumahnya
Dia adalah
Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan
budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab
pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan
dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk
mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak
pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin
berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus
kerana tak ada yang berkenan di hatinya. Pada suatu malam ia bermimpi
melihat matahari turun dari langit,masuk ke dalam rumahnya serta
memancarkan sinarnya ke semua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota
Makkah yang luput dari sinarnya. Mimpi itu diceritakan kepada anak
bapak saudaranya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki
yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang
sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas
dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: "Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman."
"Nabi itu berasal dari negeri mana?" tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
"Dari kota Makkah ini!" ujar Waraqah singkat.
"Dari suku mana?"
"Dari suku Quraisy juga.
"Khadijah bertanya lebih jauh: "Dari keluarga mana?"
"Dari
keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat," kata Waraqah dengan nada
menghibur. Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan
pertanyaan terakhir:
"Siapakah nama bakal orang agung itu, hai anak
bapa saudaraku?"Orang tua itu mempertegas: "Namanya Muhammad SAW. Dialah
bakal suamimu!"
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang
luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian
hebat. Maka sejak itulah Khadijah sentiasa bersikap menunggu dari
manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Nabi Muhammad Berniaga
Muhammad,
bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang
miskin sejak kecilnya,dipelihara oleh bapa saudaranya, Abu Thalib, yang
hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, bapa saudaranya amat
sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik
dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi
pekerti yang terpuji.
Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama 'Atiqah mengenai diri Muhammad.
Beliau
berkata: "Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah
sudah kahwin.Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu
apa yang harus diperbuat.
"Setelah memikirkan segala ikhtiar,
'Atiqah pun berkata: "Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah
akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini.
Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati
Allah SWT.
Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya
kira inilah jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan
isterinya.
"Abu Thalib menyetujui saranan saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan.
'Atiqah
mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar
kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam .
Khadijah,
tatkala mendengar nama "Muhammad", ia berfikir dalam hatinya: "Oh...
inilah takbir mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin
Naufal,bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan
namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir
zaman." Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk
bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya karena khuatir akan
fitnah.
"Baiklah," ujar Khadijah kepada 'Atiqah, "Saya terima
Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT
melimpahkan berkatnya atas kita bersama.".
Wajah Khadijah cerah,
tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang tersudut di kalbunya. Kemudian
ia meneruskan: "Wahai 'Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam
rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan
diberikan lebih tinggi dari biasanya.
"Atiqah berterima kasih, ia
pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan
kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu.
Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua bersaudara itu memanggil
Muhammad SAW seraya berkata:
"Pergilah anakanda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya."
Muhammad
SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari
pekarangan rumah bapa saudaranya, tiba-tibalah ia mencucurkan air mata
kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya
dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi.
Kesaksian Seorang Rahib
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat,
berkatalah Maisarah, kepala rombongan: "Hai Muhammad, pakailah baju
bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan,
menuju ke negeri Syam!
"Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah
iring- iringan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sedar
Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan
para malaikat-Nya.
Dari mulutnya terucap suara kecil: "Aduh hai
nasib! Mana gerangan ayahku Abdullah, mana gerangan ibuku Aminah.
Kiranyalah mereka menyaksikan nasib anakandanya yang miskin yatim piatu
ini, yang justeru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh
upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi
ke negeri ini, tanah tumpah darahku. "Jeritan batin itu membuat para
malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya.
Maisarah
memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan wasiat
Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kenderaan unta yang tangkas
dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan mengambil waktu beberapa
hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan
sentiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga mereka berhenti di
sebuah peristirehatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani.
Muhammad SAW
turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah
pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia hairan
melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah
terjadi selama ini. Ia tahu apa erti tanda itu karena pernah dibacanya
didalam Kitab Taurat.
Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah
itu dengan maksud untuk menyiasat siapa pemilik karamah dari kalangan
mereka. Semua anggota rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu,
kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-
barang dan kenderaan.
Ketika Rahib melihat awan itu tidak
bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah beliau: "Apakah di antara
kalian masih ada yang tidak hadir di sini? "
Maisarah menjawab:"Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang."
Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majlis perjamuan.
Ketika
Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak
pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan. Dan di saat Muhammad
SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan
itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun
walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang
memiliki karamah dan keutamaan itu.
Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW,bertanya: "Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?"
"Dari Makkah".
"Dari qabilah mana?" tanya sang Rahib.
"Dari Quraisy, tuan!"
"Dari keluarga siapa?""Keluarga Bani Hasyim."
''Siapa namamu?""Namaku, Muhammad.
"Serta
merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk
Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya
mengucapkan:
"Laa IlaahaIllallaah, Muhammadar Rasulullah."
Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya:
"Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?"
"Tanda apakah yang tuan maksudkan?" tanya Muhammad SAW.
"Silakan buka bajumu supaya ku lihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!"
Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan.
"Ya....ya....tertolong, tertolong!" seru Rahib."
Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!"
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan:
"Hai
hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa'at di akhirat, hai peribadi
yang mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi seluruh
alam!"Dengan pengakuan demikian,
Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah
menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW. dengan rasmi menerima wahyu
kerasulan dari langit.
Paderi-paderi Yahudi Gemetar Ketakutan
Pasar
dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan
berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah.Kebetulan pada
saat itu bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara
besar-besaran. Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton
keramaian itu. Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk
menyaksikan cara mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua
lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang
menyebabkan paderi-paderi Yahudi gemetar ketakutan. Seorang di antara
mereka bertanya:
"Alamat apakah ini?" Semuanya hairan, cemas dan ketakutan.
"Ini bererti ada orang asing yang hadir di sini," jawab pengerusi upacara.
"Kita
baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang lelaki
bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya agama
Yahudi.
"Mungkinlah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!"
Abu
Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil,dan Maisarah, yang
mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak
terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah
kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan.
Tanpa
menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat
pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari
kejahatan orang- orang Yahudi.
Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah
Biasanya
dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari lagi mendekati
Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a,
memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara- perkara lain yang
menyangkut perjalanan.
Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW: "Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?"
Muhammad SAW berkata: "Ya, saya bersedia apabila ditugaskan".
Pemimpin
rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh utusan yang
akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun menulis sepucuk
surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan kafilah yang
disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat memuaskan, dan
menceritakan pula tentang pengalaman- pengalaman aneh yang berkaitan
dengan diri Muhammad SAW.
Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya
dan sudah hilang dari pandangan mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu
kepada malaikat Jibril a.s .:
"Hai Jibril, singkatkanlah bumi di
bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW! Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah
kanannya! Hai Mikail, jagalah ia dari sebelah kirinya! Hai awan,
teduhilah ia di atas kepalanya!"Kemudian Allah SWT mendatangkan ngantuk
kepadanya sehingga baginda SAW tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah
sampai di Makkah dalam tempo yang cukup singkat.
Saat terbangun, ia
hairan mendapati dirinya telah berada di pintu masuk kota kelahirannya.
Baginda SAW sedar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan kepadanya, lalu
bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa. Sementara baginda SAW mengarahkan
untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara kebetulan Khadijah r.a
pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar jendela memandangi
jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad SAW di atas untanya
dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak
perlahan-lahan di atas kepalanya.
Khadijah r.a menajamkan
matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh penglihatannya, sebab yang
dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian tanpa rombongan,padahal telah
dipesannya kepada Maisarah agar menjaganya sebaik-baik. Ia bertanya
kepada wanita-wanita sahayanya yang duduk di sekitarnya:
"Apakah kamu mengenali siapa pengendara yang datang itu?" sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.
Seorang di antara mereka menjawab:"Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!"
Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya:
"Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan ku merdekakan bilamana ia telah sampai!"
Tak
lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita
hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas:
"Ku berikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya."
Muhammad
SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari ketua
rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah bapa saudaranya setelah
melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri.
Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata:
"Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu! "
Suaranya
ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu
diharga dirinya, Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun
agak malu-malu tetapi pasti. katanya:
"Kami sekeluarga memerlukan
nafkah dari bahagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat
memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim
piatu". Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan
penuh ketakjuban.
"Oh, itukah....! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa- apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,"
kata Khadijah r.a."Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu".
Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandungi isyarat:
"Aku
hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya
baik, kaya, diingini oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab
dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu".
Khadijah
tertunduk lalu melanjutkan:"Tetapi sayang, ada aibnya...! Dia dahulu
sudah pernah bersuami. Kalau engkau mahu, maka dia akan menjadi
pengkhidmat dan pengabdi kepadamu".
Pemuda Al-Amiin tidak
menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya
masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa
mahu dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di
hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran
Al-Amiin (jujur). Pemuda Al- Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa
kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a. Ia minta izin untuk
pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan.
Ia menceritakan
kepada bapa saudaranya:"Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata
Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan
itu "anu dan anu...."Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan
kaya itu.
Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang
perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung
kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: "Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya".
Atiqah
tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya:"Khadijah, kalau kamu
mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki
kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak
saudaraku Muhammad?"
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata- katanya itu akan dianggap penghinaan.
Ia
berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati Atiqah: "Siapakah yang sanggup
menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja ku katakan kepadamu
bahwa dirikulah yang ku maksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mahu,
aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan
bersuami hingga mati".
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat 'Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah.
Percakapan menjadi serius."Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah dimaklumi oleh anak bapa saudaramu Waraqah bin Naufah?"
tanya 'Atiqah sambil meneruskan:"Kalau belum cubalah meminta persetujuannya."
"Ia
belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya
mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang,
dan disitulah diadakan lamaran",
Khadijah r.a berkata seolah-olah
hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan kerana dialah
yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
'Atiqah
pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera
menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib,
Abu Lahab, Abbas dan Hamzah.
Semua riang menyambut hasil pertemuan 'Atiqah dengan Khadijah r.a.
"Itu bagus sekali", kata Abu Thalib,
"Tapi kita harus bermesyuarat dengan Muhammad SAW lebih dahulu".
Janda Cantik Bermata Jeli
Sebelum dijemput oleh bapa saudaranya, maka terlebih dahulu ia pun
telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a
yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan.
Utusan peribadi Khadijah itu bertanya:
"Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?"
Muhammad SAW menjawab:
"Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada."
"Bagaimana
kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau
mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan
sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?"
"Siapakah dia?" tanya Muhammad SAW.
"Khadijah!" Nafisah berterus terang.
"Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!"Usaha Nafisah berjaya.
Ia
meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah
r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW. Setelah Muhammad SAW menerima
pemberitahuan dari saudara- saudaranya tentang hasil pertemuan dengan
Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda
yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya. Betapa tidak
setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik,
hartawan, budiman. Dan utamanya pula karena hatinya telah dibukakan
Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya.
Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi
janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata
jeli.
Maka diadakanlah acara yang penuh keindahan itu. Hadir sama
Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja
dijemput. Abu Thalib dengan rasmi meminang Khadijah r.a kepada saudara
sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh
untuk berunding dengan wanita berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepadaWaraqah:
"Hai
anak bapa saudaraku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia
sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan
bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas".
"Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta", ujar Waraqah.
"Kalau
ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta
lelaki. Ku wakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya," demikian
Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali
mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan
sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai.
Lamaran diterima dengan persetujuan mas kahwin lima ratus dirham.
Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan "Ash-Shiddiq" sahabat akrab
Muhammad SAW. sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah
buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana
layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi
karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada
hari Jumaat, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri
Syam.
Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah bapa saudaranya
bernama 'Amir bin Asad, sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah
pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut:
"Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan
(Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma'ad, dari keturunan
Mudhar."
Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga
rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan
kita hakim terhadap sesama manusia."Sesungguhnya anak saudaraku ini,
Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun
juga, niscayalah ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak
berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang
dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW,
tuan-tuan sudah sama mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah
binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kahwin lima ratus dirham yang
akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan
saudara-saudaraku.
"Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai
firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang,
ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-
pengalaman hebat.Semoga Allah memberkati pernikahan ini".
Penyambutan
untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai
perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di
pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai
lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan
harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan:
"Hai
Al-Amiin, bergembiralah!Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak
mahupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan,
rumah-rumah,barang- barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi
milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai
!"
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud:"Dan Dia
(Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kekayaan". (Adh-Dhuhaa: Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu,
hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan
secita-cita.
Dijamin Masuk Syurga
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun,
yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun
sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai
karena kematian. Tahun wafatnya disebut "Tahun Kesedihan" ('Aamul
Huzni). Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada
Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang
mendahuluinya.
Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya
pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang dihantar Jibril
'alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan
bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama
dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata:
"Bergembiralah
dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah
r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat
kita."
Allah SWT tidak akan mengecewakanmu.
Bukankah engkau orang yang sentiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan?Bukankah engkau selalu berkata benar?
Bukankah
engkau sentiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tetamu dan
menghulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan
musibah?"Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam
menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita
yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap
kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang
dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy.
Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak
dimiliki oleh wanita-wanita lain iaitu, menerima ucapan salam dari Allah
SWT. yang dihantar oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW.
disertai salam dari Jibril a.s peribadi untuk disampaikan kepada
Khadijah radiallahu 'anha serta dihiburnya dengan syurga. Kesetiaan
Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas.
Nabi SAW pernah berkata: "Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk
Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW.,
Maryam binti 'Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir'aun".
Wanita
TerbaikSanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW
terhadap peribadi Khadijah r.a ialah:"Dia adalah seorang wanita yang
terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang
lain masih dalam bimbang keingkaran; dia telah membenarkan aku di saat
orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya
ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah
melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari
isteri-isteri yang lain".Putera-puteri Rasulullah SAW dari Khadijah r.a
sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil)
dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan
dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari
kedua pasangan inilah yang dibangsakan sebagai keturunan langsung dari
Rasulullah SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar